Membaca buku biasanya identik dengan suasana tenang—di kamar yang sepi, kafe sunyi, atau taman hijau yang teduh. Namun, pernahkah Anda mencoba membuka halaman demi halaman di tengah hiruk-pikuk kota? Di halte bus yang penuh orang, di trotoar yang riuh, atau bahkan di dalam kereta yang sesak. Pengalaman ini terasa unik, bahkan sedikit absurd, namun justru memberi sensasi tersendiri: seperti menciptakan ruang privat di tengah dunia yang terus bergerak.
Mata lalu-lalang orang-orang, deru kendaraan, dan suara pengamen menjadi latar belakang yang kontras dengan dunia dalam buku. Ketika sebuah paragraf berhasil menyita perhatian, seakan-akan dunia sekitar memudar. Pembaca terserap dalam alur cerita, menciptakan semacam dinding tak terlihat yang memisahkan antara realitas kota dan fiksi yang sedang dinikmati. Di saat seperti ini, membaca bukan hanya kegiatan intelektual, melainkan pelarian kecil yang sangat personal.
Namun tentu saja, membaca cerpen bahagia di tengah keramaian bukan tanpa tantangan. Gangguan visual dan suara bisa menyulitkan konsentrasi, dan terkadang orang di sekitar memandang aneh. Tapi bagi sebagian orang, tantangan ini justru menjadi semacam latihan fokus—kemampuan untuk tetap tenggelam dalam cerita meski dikelilingi kekacauan. Bahkan, interaksi spontan seperti komentar seseorang di sebelah atau senyuman kecil karena melihat judul buku yang menarik bisa menambah warna tersendiri.
Pada akhirnya, membaca di tengah kota bukan sekadar soal menikmati buku, tapi juga soal menikmati keberadaan diri di ruang publik. Ada kepuasan tersendiri saat berhasil menyelesaikan beberapa bab meski hanya duduk sebentar di halte atau sambil berdiri di KRL. Rasanya seperti membawa dunia lain ke tengah dunia nyata. Di antara klakson, iklan neon, dan langkah kaki, ada seseorang yang sedang menjelajahi cerita—dan itu mungkin Anda.